Latar Belakang Surat Roma dan Konteks Roma 7:14-26

Posted: 1 Mei 2012 in Uncategorized
Tag:, , ,

BAB II: LATAR BELAKANG SURAT ROMA DAN KONTEKS ROMA 7:14-26

Bagian yang akan dieksegesis oleh penulis yaitu Roma 7:14-26, merupakan ayat-ayat yang tidak berdiri sendiri. Untuk mengerti bagian ini tidak bisa dipisahkan dari konteksnya. Maka pertama-tama penulis menye-lidiki latar belakang surat Roma untuk memahami historisitas surat ini, dan juga menyelidiki konteks yang ada disekitarnya (konteks dekat dan konteks jauh).

A. Latar Belakang Surat Roma

  1. 1.   Latar Belakang Kota Roma

Pada zaman Perjanjian Baru Kota Roma merupakan pusat kekai-saran Romawi dan  juga sebagai pusat dunia. Tentang pendiri Kota Roma diliputi oleh legenda.[1] Sebagai pusat dunia, kota Roma menjadi tempat tinggal banyak bangsa. Penggalian-penggalian membuktikan bahwa, mula-mula kota Roma adalah tempat bertemu dan bercampurnya bangsa-bangsa, bukan tempat satu suku bangsa saja.[2] Hal ini dipengaruhi oleh sistem pemerintahan dan sistem administrasi Kekaisaran Romawi menyerap banyak kota, negara, dan bangsa.[3]

Kota Roma disebut “Kota Abadi”. Ia dilimpahi dengan kemewahan, sejarah, dan bangunan-bangunan megah, juga terdapat air mancur-air mancur sehingga disebut sebagai “Selokan Kerajaan”.[4]  Kota yang luasnya 12 mil ini berpenduduk kira-kira satu juta orang dan setengahnya terdiri atas para budak, sebab di kota tersebut praktek jual beli budak sangat marak. Di kota ini terdapat orang-orang Yahudi kira-kira 20.000,[5] tetapi menurut Witherington jumlahnya di antara 40.000 atau 50.000.[6] Hal itu menandakan bahwa orang Yahudi cukup banyak di kota itu. Terbukti karena adanya sinagoge yang cukup banyak.[7] Di Roma sedikit sekali golongan kelas menengah karena biasanya orang-orang Roma kalau kaya, sangat kaya dan kalau miskin, sangat miskin.[8]

Negara Roma mencakup segala macam daerah, iklim, suku bangsa, bahasa, dan kebudayaan, tidak saja dipersatukan oleh politik Romawi teta-pi juga oleh kebudayaan Yunani.[9] Seperti dikatakan oleh D. Kuhl, “Dalam pengetahuan umum, kesenian, kesusastraan, dan filsafat/logika kebudayaan Yunanilah (Helenisme) yang menjadi alat pemersatu. Sedang-kan dalam ilmu hukum, bidang administrasi, dan kemiliteran peranan Romawi yang berpengaruh.”[10] Sesungguhnya hal ini menyatakan bahwa ada dua kekua-saan yang tetap eksis, secara politik oleh Romawi dan kebudayaan oleh Yunani. Keduanya secara berturut-turut menguasai dunia.

Kebudayaan Yunani sangat tinggi sehingga mampu merembesi seluruh daerah Mediterania bahkan ibu kota penguasa dunia pada saat itu, Roma.  Tentang silang dua kekuasaan ini J. I. Packer menyatakan:

Kekuatan politik Yunani telah berlalu, tetapi budaya dan suasana Yunani telah menjadi fondasi bagi kebudayaan kekaisaran Romawi, sebagimana seorang penulis Romawi, Horatius, mengamati bahwa “Orang Yunani yang tertawan telah menawan penawannya.” Kesenian, literatur, dan gaya pemerintahan Yunani berkembang dengan subur hampir sepanjang periode Romawi ini.  Bahkan bahasa Yunani koine tetap menjadi bahasa resmi dunia usaha di Timur Dekat, dan Perjanjian Baru sendiri ditulis dalam bahasa ini.[11]

Inilah gambaran kota Roma sebagai alamat surat Paulus. Kota metropo-litan, pusat dunia, dan bersifat plural.

  1. 2.      Penulis Surat Roma

Rasul Paulus disebut sebagai penulis surut Roma terdapat dalam Roma 1:1. Ia adalah hamba Yesus Kristus, yang dipanggil menjadi rasul dan dikuduskan untuk memberitakan Injil Allah. Ia seorang Israel, keturunan Abraham, dari suku Banyamin (Rm. 11:1; lih. jg. Fil. 3:5). Menurut Kisah Para Rasul 22:3 (bnd. 21:39) Paulus lahir di kota Tarsus di tanah Kilikia. Sejauh ini perdebatan tentang siapa penulis surat Roma tidak menjadi persoalan. Walaupun para pakar teologi liberal pernah berpendapat bahwa rasul Paulus tidak menulis surat Roma. Namun perde-batan tersebut telah terselesaikan dan hampir semua menerima bahwa rasul Paulus adalah penulis surat Roma.[12] Bukti dalam surat ini sendiri sangat meyakinkan. Sejumlah peristiwa dan tokoh yang ditulis di dalam surat ini juga diceritakan dalam kitab-kitab lain. Misalnya tentang perja-lanan Paulus ke Yerusalem untuk membawa persembahan dari Makedonia (Rm. 15:25-27 bnd. Kis. 19:21; 20:1-5; 21:15-19; 1 Kor. 16:1-5; 2 Kor. 8:1-12; dan 9:1-5), mengenai Priskila dan Akwila (Rm. 16:3 bnd. Kis. 18:2-3, 18-19), tentang kerinduan Paulus untuk datang ke Roma (Rm. 1:10-15; 15:22-32 bnd. Kis. 19:21).

Dukungan eksternal mengenai eksistensi surat ini juga sangat mendukung kesimpulan di atas. Marcion (seorang bidat) muncul pada perte-ngahan abad kedua yang berusaha mendirikan gereja baru.[13]  Jacob van Bruggen menyatakan, “Gereja Marcion memiliki ajaran sendiri, liturgi sendiri, dan yang terpenting, memiliki kanon sendiri.”[14] Dalam kanonnya gereja Marcion menerima seluruh surat-surat Paulus kecuali surat-surat kepada Timotius dan Titus.[15] Suatu karya dari tokoh lain yaitu dari Eusebius dalam bukunya Sejarah Gereja Kristen (Hostoria Ecclesiastica) menyinggung tentang hal ini. Di sana kita menemukan semacam daftar tulisan Perjanian Baru yang dikelompokkan menurut ciri khasnya masing-masing.[16] Surat-surat Paulus termasuk dalam kelompok homolougomena yang diakui sebagai kanonik dan tidak ada masalah mengenai penulisnya.[17]  Data-data yang telah diuraikan di atas menjadi bukti yang kuat terhadap apa yang telah dinyatakan dalam Roma 1:1, yaitu bahwa rasul Paulus adalah penulis surat ini, dan sekaligus menyatakan nilai keotentikkannya yang tidak bisa diragukan.

  1. 3.    Penerima Surat Roma

Jemaat Roma terdiri atas orang Yahudi (Rm. 4:1; 7:4-6) dan juga orang non-Yahudi (Rm. 1:5,13; 11:13). Kemungkinan besar bahwa jemaat Roma didominasi oleh orang-orang non-Yahudi.[18] Hal ini dapat dimengerti dari latar belakang kota tersebut. Masalah yang sulit dipecahkan hingga pada saat ini adalah identitas pendiri jemaat Roma-dalam surat ini bahkan tidak ditemukan uskup atau pendiri umat (diaken)-dan kapan jemaat itu mulai berdiri?

Teori yang pernah muncul menyangkut pendiri jemaat di Roma berasal dari tradisi Roma Katolik, yang menganggap bahwa jemaat Roma didirikan oleh Petrus pada tahun 42 M.[19] Teori ini tidak banyak diterima oleh karena sejumlah bukti Alkitab yang menyangkal bahwa Petrus adalah pendiri jemaat di Roma. Stambaugh-Balch menyatakan, “Dalam Kisah Para Rasul maupun surat kepada jemaat di Roma tidak disebutkan tentang tempat tinggal Petrus di Roma.”[20] Pernyataan Paulus dalam Roma 15:20 juga menyangkal teori ini. Paulus menganggap sebagai kehormatan jika Injil Kristus ia beritakan di tempat-tempat di mana Kristus belum dikenal orang. Paulus tidak ingin membangun di atas dasar yang telah dibangun orang lain.  Lebih jelas dalam 1 Korintus 3:10-12, Paulus membangun suatu dasar dan orang lain membangun terus di atasnya. Paulus tentunya memba-ngun di atas dasar yaitu dasar yang telah diletakkan Yesus Kristus. Th. van den End menyatakan, “Ia memang mempunyai medan kerja yang maha-luas, tetapi tidak mau mencampuri hasil kerja orang lain.”[21] Paulus menya-dari bahwa bukan dia yang mendirikan jemaat Roma.  Paulus hanya mau “memberikan karunia rohani” kepada mereka (Rm. 1:11 bdk. Kis. 8:14-18; 2Tim. 1:6). Memang ada bukti yang kuat tentang kehadiran Petrus di Roma.[22]

Hal ini tidak berarti bahwa Petrus adalah pendiri jemaat Roma.  Merrill C. Tenney mengatakan bahwa tidak ada petunjuk kehadiran Petrus di Roma sebelum tahun 60 baik dalam kitab Kisah Para Rasul maupun dalam surat Roma.[23] Dalam Kisah Para Rasul 18:2 disebutkan tentang maklumat Kaisar Klaudius untuk mengusir orang-orang Yahudi dari Roma. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 49 M. atau 50 M.[24] Pada saat yang sama pula diadakan sidang para rasul di Yerusalem.[25] Dalam sidang tersebut Petrus hadir di sana dan bahkan juga turut berbicara serta mempunyai pengaruh dalam sidang itu (Kis. 15:7-11). Dengan pertimba-ngan seperti ini, bagaimanakah mungkin Petrus adalah pendiri jemaat Roma? Kehadiran Petrus di Roma lebih dini dan jemaat Roma telah ada sebelum kedatangannya di sana.

Maklumat yang dikeluarkan oleh Klaudius supaya orang Yahudi meninggalkan Roma dilatarbelakangi oleh suatu masalah di antara jemaat Roma yang disebabkan oleh “Chrestus”. Dalam karya Suetonius (Hidup Klaudius, 25:4) berkata tentang tindakan Klaudius, “Karena orang-orang Yahudi selalu membuat keonaran karena bujukan Chrestus, maka ia mengusir mereka dari Roma.”[26] Dari laporan Suetonius tersebut, timbul pertanyaan: Apakah Priskila dan Akwila sudah menjadi Kristen sebelum bertemu dengan Paulus di Korintus? Siapakah Chrestus itu? Apakah itu menunjuk kepada Kristus atau ada oknum lain yang bernama Chrestus?  Jika nama itu menunjuk pada Kristus maka itu berarti bahwa kekristenan sudah masuk ke Roma jauh sebelum tahun 49 M. dan pemberitaan Injil Kristus adalah menjadi latar belakang maklumat Klaudius. Menurut Groenen tokoh yang dimaksud adalah Yesus Kristus.[27] Nama itu juga menunjukkan variasi ejaan yang umun dari Kristus.[28] Menurut Groenen  kemungkinan pertikaian di antara orang-orang Yahudi disebabkan oleh Yesus Kristus. Pada zaman itu orang-orang Yahudi cukup rajin untuk menarik orang-orang non-Yahudi menjadi penganut agama Yahudi. Orang-orang Kristen keturunan Yahudi juga melakukan hal yang sama, terus mewartakan Injil Kristus kepada orang-orang non-Yahudi, sehingga keper-cayaan Kristen semakin meluas.[29]

Jakob van Bruggen tidak setuju dengan pendapat seperti di atas bahwa Chrestus adalah Kristus. Menurut Jakob van Bruggen, tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa tokoh yang bernama Chrestus adalah Kristus. Lagi pula Suetonius mengetahui bahwa sebutan Kristiani untuk orang Kristen berasal dari Kristus, bukan Chrestus.[30]  Ia mengatakan bahwa orang Yahudi diusir dari Roma karena pemberontakkan yang terjadi di Yerusalem. Kaisar mengeluarkan maklumat untuk memberi peringatan yang keras.[31] Akan tetapi Robert E. van Voorst mengatakan bahwa nama Χρηστος (Сhrêstos) bukanlah nama yang lazim untuk orang Yahudi, tetapi merupakan nama yang umun dipakai di antara orang-orang Yunani-Romawi. Lagi pula di antara ratusan nama-nama orang Yahudi yang ditemukan pada prasasti di Katakombe di Roma tidak ditemukan nama yang demikian.[32] Suetonius mungkin telah keliru menyebutkan Kristus sebagai Chrestus, karena nama Chrestus adalah nama yang umum di dunia Yunani-Romawi sehingga ia mengeja Christus sebagai Chrestus.[33] K. Weiss juga mengatakan bahwa nama Χρηστος adalah nama diri yang umum di dunia Yunani-Romawi.[34] Hal ini telah menambah kesulitan karena jikalau Chrestus adalah seorang Yahudi yang menimbulkan kerusuhan di Yerusa-lem (Palestina) dan berakibat pada orang Yahudi di perantauan (Roma) seperti pendapat Jakob van Bruggen, hal ini bertentangan dengan nama itu yang tidak lazim bagi orang Yahudi. Dalam beberapa bagian Alkitab istilah Xριστιανος merupakan sebutan untuk orang-orang Kristen (lih. Kis. 11:26; 26:28; 1 Ptr. 4:16) sebagai pengikut Kristus tidak memakai Xρηστιανος. Tetapi sebuah batu nisan yang ditemukan menunjukkan bahwa Christians adalah Chrestians.[35] Jadi, Priskila dan Akwila di usir dari Roma oleh karena masuknya unsur-unsur kekristenan di sana. Kita juga dapat melihat dari sikap Priskila dan Akwila dengan  keakraban  dengan Paulus. Jika mereka bukan Kristen tidak mungkin mereka menyambut Paulus sementara mereka diusir dari Roma karena huru-hara antara orang-orang Yahudi dengan orang Kristen.

4.  Tempat dan Waktu Penulisan Surat Roma

Keberadaan Paulus di Korintus yang dirangkaikan dengan pengum-pulan dana untuk Yerusalem, juga dibebani oleh sejumlah perkara dalam jemaat Korintus yang harus  diselesaikan. Dalam situasi seperti ini Paulus menuliskan surat kepada jemaaat di Roma. Sebelumnya Paulus pernah datang ke Korintus tepatnya pada pertemuan dengan Priskila dan Akwila (Kis. 18:2). Kunjungan terakhir ini berada dalam rangka perjalanan misi yang ketiga. John Drane mengatakan bahwa perjalanan misi Paulus yang terakhir ini lebih bersifat pelayanan penggembalaan yang ia pusatkan di Efesus dan Korintus. Rupanya selama tiga tahun di Efesus (Kis. 20:31) ia mengadakan kunjungan singkat ke Korintus.[36]

Berhubungan dengan tanggal penulisan surat ini, Paulus tidak menyatakan secara langsung. Dalam Kisah Para Rasul 18:1-2, Paulus berada di Korintus dan bertemu dengan Priskila dan Akwila.  Ia berada di Korintus selama satu tahun enam bulan (ayt. 11), pada waktu Gallio menjadi gubernur di Akhaya (ayt. 12-14). Masa pemerintahan Gallio yaitu antara Mei 51 dan Mei 52, hal ini deketahui dari sejarah Roma.[37]  Sebuah temuan arkeologis di Delfi memberi keterangan masa tinggal Paulus di Korintus dan bahwa Galio pada waktu itu adalah gubernur di Akhaya pada tahun 52M.[38] Maka dapat dikatakan, Paulus berada di Korintus pada tahun 51-53. Melalui Efesus ia kembali ke Yerusalem (Kis. 18:19-21) dan menga-khiri perjalanannya di Antiokhia (Kis. 18:22). Setelah beberapa lama di Antiokhia, Paulus memulai perjalanan yang ketiga dari situ dengan kunju-ngan pertamanya adalah Galatia dan Frigia (Kis. 18:23). Setelah itu Paulus melanjutkan perjalanan ke Efesus. Di Efesus Paulus tinggal selama tiga tahun (Kis. 20:31) yaitu pada tahun 54-57.[39] Hal itu cocok jika kita hitung dari keberadaan Paulus di Korintus satu tahun enam bulan, katakan saja dua tahun ditambah tiga tahun di Efesus. Dalam Kisah Para Rasul 20:1-3, Paulus berangkat ke Makedonia, lalu ia tiba di tanah Yunani dan tinggal di situ selama tiga bulan. Di tanah Yunani ini Paulus menulis surat-nya pada tahun 58. Masa ini adalah masa penegakkan hukum dan tatanan seluruh wilayah pada masa Nero. Ini sesuai dengan nasihat Paulus tentang “peme-rintah” (Rm. 13:1-13).[40] Demikianlah Paulus menulis suratnya kepada je-maat di Roma setelah ia di Efesus dan sebelum ia berangkat ke Yerusalem.

  1. 5.   Tujuan Penulisan Surat Roma

Dalam Roma 15:23 Paulus mengatakan bahwa ia “tidak lagi mem-punyai tempat di daerah ini” yaitu dari Yerusalem sampai ke Ilirikum (ayt. 19).  Sekarang Paulus mau meluaskan daerah penginjilannya ke arah barat, ke Spanyol (ayt. 24). Bagi Paulus kerinduannya untuk datang ke Roma bukanlah tujuan satu-satunya, melalui perjalanannya ke Spanyol ia dapat singgah di Roma (Rm. 15:24, 28).

Jadi, Roma adalah titik tolak Paulus ke Spanyol. Melalui Roma ia akan meneruskan perjalanannya. Maka kepada jemaat di Roma ia memo-hon bantuan untuk melanjutkan perjalanan itu (Rm. 15:24). Duyverman menyatakan, “Sebagaimana dahulu Antiokhia menjadi ‘pangkalan’ Paulus, sekarang Roma akan menjadi titik tolaknya. Hal itu nyata dari kata-kata ‘kamu dapat mengantarkan aku ke sana.”[41] Surat Roma ditulis sebagai ganti bertatap muka langsung seperti dikatakan oleh Tenney, dan sebagai persiapan untuk menjadikan Roma sebagai pusat pelayanan di barat, seperti Antiokhia, Efesus, Filipi, dan kota-kota lain di mana Paulus pernah bekerja di kawasan timur.[42] Jadi, sebelum hal itu dilakukan Paulus, ia terlebih dahulu memperkenalkan diri kepada jemaat. Feine-Behm menga-takan bahwa kebutuhan akan perkenalan demikian memberikan alasan bagi Paulus untuk menguraikan gagasan-gagasan teologisnya pada peralihan baru pekerjaannya, yang diuraikan Paulus di sini adalah confessions-nya.[43]

Dalam Roma 1:15 Paulus berkata, “Itulah sebabnya aku ingin memberitakan Injil kepada kamu juga yang diam di Roma.” Hal ini menimbulkan pertanyaan, mengapa Paulus masih mau melakukan hal itu, bukankah orang Kristen di Roma telah percaya dan Paulus sendiri memuji iman mereka (Rm. 1:8,12). Th. van den End menyatakan bahwa, “Memberi-takan Injil dalam hal ini adalah pemberitaan firman kepada orang percaya.”[44] Pendapat lain yaitu dari Groenen, mengatakan bahwa orang Kristen di Roma belum mendapat Injil sepenuh-penuhnya seperti dipahami oleh Paulus sebagai rasul yang telah menyaksikan langsung Yesus yang telah bangkit.  Kekurangan inilah yang mau dilengkapi Paulus.[45] Alasan ini diterima oleh Donald Guthrie bahwa kebutuhan jemaat yang mendesak penulisan surat Roma.[46] Kasus yang sama dapat kita lihat dari Apolos, seorang beriman yang penuh semangat namun dengan kekurangan dasariah yang sangat penting, ia tidak mengenal baptisan Roh (Kis. 18:24-26).

Pada bagian sebelumnya penulis telah menguraikan bahwa jemaat Roma terdiri atas orang-orang Yahudi dan non-Yahudi dan kelompok terakhir sebagai mayoritas dalam jemaat. Hal tersebut bertolak belakang dengan argumen yang terdapat dalam surat ini. Dalam surat ini banyak berbicara tentang hal-hal  yang khas Yahudi.  Secara panjang lebar Paulus terus-menerus berbicara tentang hal itu, sementara alamat suratnya adalah mayoritas non-Yahudi. Terkait dengan itu surat Roma lebih bersifat teolo-gis tidak bernada pribadi seperti surat-surat yang lain.

Menurut Tom Jacobs sebetulnya uraian itu ditujukan kepada jemaat di Yerusalem tetapi secara de facto ditulis kepada umat di Roma.[47] Jakob van Bruggen tidak setuju dengan pendapat seperti ini. Ia mengatakan bahwa dalam surat ini tidak ditemukan perlawanan dari Paulus terhadap Yudaisme, sebab  tidak ada informasi terhadap guru-guru palsu. Hanya satu kali saja (16:17-20) Paulus memperingatkan jemaat terhadap godaan orang-orang yang menimbulkan perpecahan. Paulus mengatakan hal itu sebagai peringatan saja.[48] Memang benar bahwa Paulus tidak menunjuk satu partaipun yang berlawanan dengan ajaran yang diterimanya dari Kristus sebagai rasul terhadap bangsa-bangsa lain. Tetapi tidak mungkin Paulus secara keras mengkritik ajaran Yudaisme yang ada dalam jemaat. Hal itu akan menimbulkan tanggapan negatif terhadap Injil yang akan disampaikannya dan segala kerinduannya untuk datang ke Roma juga dukungan untuk rencana pelayanan ke Spanyol tidak akan ditanggapi dengan baik.  Juga kita dapat melihat bahwa Paulus lebih berhati-hati oleh berbagai pengalamannya yang selalu berkonfrontasi dengan pihak orang Yahudi (bnd. Kis. 9:23-30; 17:1-9). Hal itu juga nyata dari kata-katanya, ‘supaya aku terpelihara dari orang-orang yang tidak taat di Yudea’ (Rm. 15:31).  Jadi, masalah yang telah dibahas dalam Sidang Rasuli di Yerusalem tahun 49 tentang apakah orang non-Yahudi diharuskan untuk mengikuti hukum Taurat atau tidak, kini menjadi masalah baru bagi kekristenan yang ada di Roma.

Paulus berkata dalam Roma 15:1-13, “Kita yang kuat wajib menanggung kelemahan orang yang tidak kuat dan jangan kita mencari kesenangan sendiri. …” Marxsen mengatakan bahwa yang lemah di sini adalah orang Kristen Yahudi dan yang kuat adalah orang Kristen non-Yahudi. Di antara orang-orang Kristen non-Yahudi, ada orang-orang Kristen proselit.[49] Tentu saja orang-orang Kristen Yahudi yang “picik” akan dengan mudah sekali bertengkar dengan mereka bila persoalan tentang makanan muncul, jauh lebih mudah daripada orang-orang Kristen non-Yahudi.[50] Yang lemah mengharapkan yang kuat bertindak sebagai orang Yahudi.[51] Hal ini tentu tidak bisa dilakukan oleh orang-orang Kristen yang tidak pernah hidup di bawah hukum Taurat, dan lebih lagi kesela-matan diperoleh bukan oleh perbuatan-perbuatan hukum Taurat tetapi oleh iman (Rm. 3:28).

Jadi, dapat disimpulkan bahwa Surat Roma ditulis untuk memper-siapkan perjalanan Paulus ke Spanyol yang pada waktu itu dianggap sebagai ujung dunia demi penggenapan Amanat Agung Tuhan Yesus dalam Matius 28:18-20. Sehubungan dengan isi surat yang dikirim Paulus, agak-nya ia mau meletakkan doktrin-doktrin tentang iman Kristen.

  1. 6.   Garis-garis Besar Surat Roma

Berikut ini adalah tentang pembagian surat Roma. Penulis mengi-kuti pembagian yang diberikan oleh Douglas J. Moo sebagai berikut:

  Pembukaan surat (1:1-17)

  1. Penetapan (1:1-7)
  2. Ucapan syukur dan alasan: Paulus dan jemaat Roma (1:8-15)
  3. Tema surat (1:16-17)

II   Intisari Injil: Pembenaran oleh iman (1:18-4:25)

  1. Kekuasaan universal dosa (1:18-3:20)

    1. Semua orang bertanggung jawab atas dosa kepada Allah

(1:18-32)

  1. Orang Yahudi dan hukuman Allah (2:1-3:8)

    1. Orang Yahudi dan penghakiman Allah (2:1-16)

i   Kritik terhadap kesombongan orang Yahudi (2:1-5)

ii  Penghakiman yang tidak pandang bulu (2:6-11)

iii Penghakiman dan hukum (2:12-16)

  1. Batas-batas perjanjian (2:17-29)

i  Hukum (2:17-24)

ii Sunat (2:25-29)

  1. Kesetiaan Allah dan penghakiman terhadap orang Yahudi (3:1-8)
  2. Seluruh umat manusia bersalah (3:9-20)

B.  Pembenaran Karena iman (3:21-4:25)

1.   Pembenaran dan kebenaran Allah (3:21-26)

2.   ‘Hanya oleh iman’ (3:27-4:25)

a.  ‘Hanya oleh iman’: Perjanjian pertama (3:27-31)

b. ‘Hanya oleh iman’: Perluasan dengan kehormatan Abraham (4:1-25)

i   Iman dan perbuatan (4:1-8)

ii  Iman dan sunat (4:9-12)

iii Iman, janji, dan hukum (4:13-22)

iv Iman Abraham dan iman Kristen (4:23-25)

III  Kepastian yang diberikan melalui Injil: Harapan keselamatan

(5:1-8:39)

  1. Pengharapan kemuliaan (5:1-21)

    1.  Dari pembenaran kepada keselamatan (5:1-11)
    2.  Kekuasaan anugerah dan hidup (5:12-21)
    3. Kebebasan dari perbudakan dosa (6:1-23
      1. Mati terhadap dosa ‘melalui persekutuan dengan Kristus (6:1-14)
        1.   Kebebasan dari kuasa dosa untuk melayani kebenaran (6:15-23)
        2. Kebebasan dari perbudakan kepada hukum (7:1-25)
          1.  Membebaskan dari hukum, berhubungan dengan Kristus (7:1-6)
          2.  Sejarah dan pengalaman orang Yahudi di bawah hukum (7:7-25)
            1. Kedatangan hukum (7:7-12)
            2. Hidup di bawah hukum (7:13-25)[52]
            3. Kepastian hidup yang kekal oleh Roh Kudus (8:1-30)
              1.  Hidup oleh Roh (8:1-13)
              2.  Pengangkatan oleh Roh (8:14-17)
              3.  Kemuliaan oleh Roh (8:18-30)
            4. Perayaan jaminan orang percaya (8:31-39)

IV  Pembelaan atas Injil: Masalah Israel (9:1-11:36)

  1. Pengantar: Pertanyaan antara janji Allah dan keadaan Israel (9:1-5)
  2. Penetapan janji (1): Kedaulatan Allah untuk memilih (9:6-29)

    1. Israel dalam Israel (9:6-13)
    2. Jawaban yang keberatan: Kebebasan dan tujuan Allah (9:14-23)
    3. Panggilan Allah kepada manusia baru: Yahudi dan non-Yahudi (9:24-29)
    4. Memahami keadaan Israel: Yesus adalah puncak sejarah kesela-matan (9:30-10:21)
      1.  Israel, orang Yunani, dan kebenaran Allah (9:30-10:13)
        1. Kebenaran Allah dan kebenaran hukum (9:30-33)
        2. Kebenaran Allah dan kebenaran mereka sendiri (10:1-4)
        3. Injil dan hukum Taurat (10:5-13)
        4. Ringkasan: Israel, orang-orang pilihan, dan dijadikan keras (11:1-10)
          1. Tujuan Allah dan penolakan Israel (11:11-15)
          2. Hubungan antara orang Yahudi dengan non-Yahudi: Sebuah peringatan bagi orang-orang percaya non-Yahudi (11:16-24)
            1. Keselamatan seluruh Israel (11:25-32)
    5. Kesimpulan: Pujian untuk Allah dalam cahaya rencana-Nya yang mengagumkan (11:33-36)

V   Kuasa Injil yang mengubahkan: Kelakuan Kristen (12:1-15:13)

  1. Masalah hati nurani: Perubahan total (12:1-2)
  2. Kerendahan hati dan pelayanan bersama (12:3-8)
  3. Kasih dan manifestasinya (12:9-21)
  4. Orang Kristen dan penguasa sekuler (13:1-7)
  5. Kasih dan hukum (13:8-10)
  6. Kehidupan dalam cahaya siang (13:11-14)

    1. Sebuah permohonan untuk persatuan (14:1-15:13)
      1. Jangan menghakimi siapapun! (14:1-12)
      2. Jangan memberi batu sandungan bagi saudaramu! (14:13-23)
      3. Mendahulukan orang lain (15:1-6)
      4. Menerima satu sama lain (15:7-13)

VI  Penutup surat (15:14-16:27)

  1. Pelayanan Paulus dan rencana perjaslanannya (15:14-33)

    1. Melihat kembali: Pelayanan Paulus di timur (15:14-21)
    2. Melihat ke depan: Yerusalem, Roma, dan Spanyol (15:22-29)
    3. Perhatian, janji, dan doa untuk Yunani (16:17-20)
    4. Sambutan dari teman-teman Paulus (16:21-23)
    5. Menutup dengan kidung pujian (16:25-27)[53]
  1. B.       Konteks Roma 7:14-26

    1. 1.    Perjanjian Baru

            a. Roma 6:1-7:13

            Untuk  lebih memahami Roma 7:14-26, penting untuk melihat kebe-radaan teks ini dalam konteksnya. Berikut ini penulis akan menjelaskan hubungan teks dengan ayat-ayat sebelum (Rm. 6:1-7:13), ayat-ayat setelah ayat-ayat yang dieksegesis (Rm. 8:1-17), dan Galatia 5:17.

Dalam 6:1-14, Paulus berbicara tentang arti teologis kesatuan orang percaya dengan Kristus dalam kematian dan kebangkitan-Nya, dan mela-mbangkannya dalam konsep baptisan. Baptisan menandakan hal diku-burkan bersama dengan Kristus dalam kematian-Nya, tetapi Kristus telah bangkit, hidup kembali. Dalam kebangkitan-Nya kita memperoleh hidup baru (6:4). Donald Guthrie menyatakan, “Sebagaimana kematian itu terjadi dalam sejarah, demikian pula pengikutsertaan orang-orang percaya dalam kematian itu juga terjadi dalam sejarah. Dengan kata lain, tatkala Kristus mati pada kayu salib, semua yang akan dipersatukan dengan Dia ikut juga mati.”[54] Maka sesungguhnya manusia telah menjadi sama dengan Kristus dalam kematian dan kebangkitan-Nya. Titik tolak uraian Paulus dalam bagian ini adalah dari 5:20, “tetapi hukum Taurat ditambahkan supaya pelanggaran menjadi semakin banyak; dan di mana dosa bertambah banyak, di sana kasih karunia menjadi berlimpah-limpah”.  Kalimat ini bisa saja disalahartikan sebagai kesempatan untuk hidup di dalam dosa (3:8).   Untuk menjelaskannya, Paulus memulai dengan kalimat pertanyaan: Jika demikian, apakah yang hendak kita katakana? Bolehkah kita bertekun dalam dosa, supaya semakin bertambah kasih karunia itu? (6:1). Hal itu tidak mungkin lagi sebab kita telah mati bagi dosa melalui kematian Kristus. Kita tidak dikuasai lagi oleh dosa dan tidak berada dibawah hukum Taurat tetapi di bawah kasih karunia (6:14). Maka hukum Taurat diberikan adalah untuk menyatakan keadaan orang berdosa. Melalui hukum Taurat, dosa telah membangkitkasn berbagai-bagai kejahatan (lih. Rm. 3:20; 7:7; Gal. 3:19).

Orang yang percaya kepada Yesus Kristus tidak lagi berada di bawah kuasa dosa dan hukum Taurat, manusia telah dipindahtempatkan.  Tetapi karya Kristus tidak hanya melepaskan dan membiarkan begitu saja tanpa ‘pengendali’. Dalam hal ini adanya peralihan tempat yaitu dari perbudakkan yang satu kepada perbudakkan yang lain.[55] Setelah kita dibe-baskan dari perbudakkan dosa kini kita menjadi budak Kristus. Melalui ini kita melihat kasih Kristus yang bersifat mengikat. Kebebasan dari hukum Taurat, bukanlah menjadi kesempatan berbuat dosa. Dimerdekakan dari kuasa dosa dan hukum Taurat akan terjadi dengan efektif apabila mengi-katkan diri pada tuan yang telah memberikan kemerdekaan itu yaitu kepada Tuhan Yesus Kristus, dan menjadi hamba-Nya (Rm. 6:15-23).

Pernyataan Paulus dalam 6:14, “Kamu tidak hidup di bawah hukum Taurat tetapi di bawah kasih karunia”, mempunyai hubungan dengan 7:1-6.  Orang percaya telah mati bagi dosa (psl. 6), dan sekarang dalam pasal 7, Paulus menguraikan dalam hal apa lagi orang percaya telah mati.  Hukum Taurat menuntut kematian dan Kristus telah memenuhi tuntutan kematian itu di atas kayu salib. Upah dosa adalah maut, kematian Kristus telah membatalkan upah itu. 7:1-6 kembali mengulangi 6:14 dengan menjelaskan lebih jauh bagaimana terlepas dari hukum Taurat. Seperti dikatakan oleh Th. Van den End, “Dalam pasal 7 ia memberi penjelasan tentang kebebasan itu: kebebasan dari kuasa dosa adalah kebebasan dari kuasa hukum Taurat.  Tegasnya, pasal 7 merupakan uraian mengenai perkataan yang terdapat dalam 6:14”.[56]

Unsur penting untuk memahami penjelasan Paulus dari pasal 6 sampai pasal 7 yaitu tentang sifat hukum Taurat. Penjelasannya yang dimulai dengan kalimat pertanyaan penting untuk diperhatikan (lih. 6:1, 15; 7:1, 7, 13). Ayat-ayat tersebut seluruhnya dikaitkan dengan hukum Taurat. Setiap penjelasan dari pertanyaan-pertanyaan tersebut tetap berhubungan dengan hukum Taurat. Dalam Roma 7:1 Paulus berkata bahwa hukum berkuasa atas seseorang selama orang itu hidup. Prinsip yang disampaikan Paulus dalam bagian ini yaitu bahwa kematian membebaskan seseorang dari hukum Taurat. Ayat 2-3 menjelaskan hal tersebut dengan memakai ilustrasi pernikahan. Ayat 4 merupakan penerapan ayat 1 yaitu bahwa kita telah mati bagi hukum Taurat melalui kematian Kristus, dan menjadi milik Dia. Sebagai milik-Nya kita dituntut untuk berbuah bagi.  Pada ayat 5-6, Paulus menjelaskan ayat 4 lebih jauh.  Ayat 5 berfokus pada peranan hukum Taurat dalam kehidupan kita ketika masih dalam dosa. Kehidupan sebelum mati bagi hukum Taurat dan menjadi milik Kristus adalah kehidupan dalam daging. Paulus menjelaskan, sebelum kita percaya, hawa nafsu kita dirangsang oleh hukum Taurat supaya kita berbuah bagi maut. Jadi, hukum Taurat telah merangsang kita dan menimbulkan hawa nafsu, sehingga yang dihasilkannya adalah ‘buah bagi maut’.

Ayat 6 merupakan kontras dengan ayat 5. Ayat ini menjelaskan kehidupan setelah menerima Kristus. Keberadan kita ‘sekarang’ adalah hidup yang melayani sebagai keadaan baru. Dia yang mengurung kita tidak berkuasa lagi di dalam kita yaitu hukum Taurat sebagai kehidupan lama kita. Douglas J. Moo mejelaskan hubungan ayat 5 dan ayat 6 sebagai “contrast between the pre-Christian and Christian situation.”[57] Glenn W. Baker menyatakan, “The povital verse for understanding Paul’s presentation are verse 5, which introduces the thema of 7:14-26, and verse 6 which anticipates the argument of chapter eight.”[58] Untuk mengerti penjelasan Paulus dalam bagian ini, Thomas R. Schreiner memberikan struktur sebagai berikut:

A    Life under the Law: Unregenerate experience described (7:5)   

            B               Life in the Spirit: Regenerate experience described (7:6)

            A’   Life under the Law elaborated (7:7-26)

B’              Life in the Spirit elaboratet (8:1-17)[59]

Dengan bantuan struktur yang diberikan oleh Schrainer di atas, akan sangat menolong untuk memahami struktur Roma 7. Ayat 7-26 dibagi dalam dua bagian, yaitu ayat 7-13 dan ayat 14-26. Paulus memulai penje-lasannya dengan kalimat pertanyaan sebagai ciri argumentasi seperti pada bagian sebelumnya. Hukum Taurat telah merangsang kita untuk berbuat dosa (7:5), dengan demikian apakah hukum Taurat itu dosa? Sekali-kali tidak! Hukum Taurat itu adalah kudus, benar, dan baik (ayt. 12). Dosalah yang telah membuat ini semuanya kacau. Pengetahuan tentang hukum Taurat, memberi kesempatan bagi dosa untuk membang-kitkan berbagai keinginan. Maka dosa menjadi hidup dan “aku” mati. Jadi, apakah hukum Taurat yang mulanya adalah kudus, benar, dan baik menjadi kematian bagiku? Tidak! Dosalah yang mendatangkan kematian bagi “aku”.

b. Roma 8:1-17

Seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa 8:1-17 merupakan penjelasan dari 7:6. Kehidupan setelah menerima Kristus sebagai Tuhan adalah kehidupan yang dipimpin oleh Roh. Kehidupan dalam tahap ini adalah kehidupan yang berbeda dengan kehidupan sebe-lumnya. Kehidupan sebelum percaya Yesus adalah kehidupan dalam dosa, suatu zaman di mana seseorang berada dalam kegelapan dan kebutaan. Percaya pada Yesus merupakan batas pemisah dari hidup yang lama pada hidup yang baru. Hidup baru adalah zaman baru. Dalam zaman yang baru ini seseorang memulai perjalanannya bersama dengan Kristus oleh piminan Roh. Dalam zaman yang baru ini Roh memiliki peranan yang sangat penting.

Tom Jacobs menyatakan, “Tema pokok seluruh pasal 8, khususnya ayat 1-17, adalah tema ‘hidup’ dan terutama hidup karena Roh.”[60]  Perikop ini didominasi oleh kata “roh” dan “hidup”.  Hal ini menyatakan hubungan erat antara Roh dan hidup yang tidak dapat dipisahkan. Yang satu menjadi penyebab terhadap yang lain. Rohlah yang memberi hidup bagi manusia, membangunkan manusia dari dosa, dan Roh itu sendiri adalah sumber hidup. Rohlah yang memberi kemerdekaan dari hukum dosa dan hukum maut melalui Kristus. Maka hidup di dalam Kristus adalah hidup yang telah bebas dari hukuman (ay. 1-2). Kata ‘demikianlah sekarang’ dalam ayat 1, “Menyatakan pembebasan manusia yang berada di bawah kuasa dosa dan pemerintahan Taurat, yang tidak berdaya dan tidak dapat menak-lukkan daging.”[61] Hukum Taurat dalam maksudnya semula adalah baik tetapi manusia yang melakukan hukum Taurat itu adalah manusia yang hidup dalam daging dan telah dikuasai oleh dosa, sehingga hukum itu tidak berarti. Ia tidak berdaya dalam daging (ay. 3). Hanya Kristus yang sanggup melakukan segala tuntutan hukum Taurat, Ia yang serupa dengan daging. Persatuan kita dengan Kristus (psl. 6:1-14) telah memenuhi tuntutan hukum Taurat di dalam kita. Ketaatan-Nya telah menjadi ketaatan kita.

Ayat 5-8 berbicara tentang perlawanan antara daging dan Roh. Melaui persatuan dengan Juruselamat yang telah bangkit dan dipermu-liakan itu, suatu kuasa baru yaitu kuasa Roh Kudus menjadi bagian kita. Kehidupan dalam Roh dijelaskan pada ayat 9-11. Kita hidup dalam Roh, sebab Roh Kristus telah berdiam di dalam kita. Karena Roh Kristus ada dalam kita maka kita menjadi hidup, sekalipun kita mati dalam dosa. Roh yang telah membangkitkan Kristus telah membangkitkan kita. Pada bagian berikutnya Paulus menjelaskan kedudukan kita sekarang sebagai anak. Orang yang dipimpin oleh Roh adalah anak Allah, menjadi ahli waris bersama Anak Allah. Oleh Roh itu kita berseru: “Ya Abba, ya Bapa”.

  1. c.   Galatia 5:17

Hidup dalam Roh adalah hidup yang diinginkan Allah dari setiap orang percaya.  Tanpa pimpinan Roh kita tidak mungkin dapat melakukan kehendak Allah. Dalam Galatia 5 ini, Paulus membedakan kehidupan dalam Roh dengan kehidupan dalam daging. Menurut Gunning, keinginan daging yang dimaksudkan ini tidak terbatas pada keinginan seksual dan keinginan-keinginan badani lainnya, tetapi menunjukkan pada manusia seluruhnya, yang melawan kehendak Allah dan tidak mengindahkan sesamanya.[62] Hidup yang dipimpin oleh Roh dilawankan dengan dengan keinginan daging. Keduanya merupakan dua kutub yang tidak dapat bersa-tu. Karena keinginan daging adalah perseteruan dengan Allah (Rm. 8:7).

Paulus berkata, “Hiduplah oleh Roh, maka kamu tidak akan menu-ruti keinginan daging” (Gal. 5:16). Di sini Paulus meminta orang-orang di Galatia untuk hidup sesuai dengan Roh. Hidup dalam Roh adalah hidup yang sesuai dengan kehendak Allah. Gordon D. Fee menyatakan, “Perten-tangan Roh-daging berhubungan dengan mereka yang telah memasuki gaya hidup baru yang dibawa oleh Kristus dan Roh Kudus.”[63] Dengan demikian hidup orang percaya menjadi arena perang antara Roh dan daging.

Paulus meminta orang-orang Galatia untuk hidup dalam Roh karena berhubungan dengan status mereka sebagai umat Allah yang telah mema-suki gaya hidup baru. Mereka tidak hidup lagi sebagai orang yang berada dalam murka Allah. Juga karena kalau mereka masih hidup dalam keda-gingan dan segala keinginannya hal itu adalah hal yang bertentangan dengan Roh Allah yang ada dalam orang-orang percaya. Dalam ayat 17 Paulus menguraikan pertentangan itu. Orang percaya telah meninggalkan keberadaan dalam daging dan hidup di bawah hukum Taurat.

Dalam hidup orang percaya daging terus menuntut, sebagai tabiat dosa yang masih ada, sehingga mereka tidak melakukan apa yang mereka kehendaki (ay. 17b). Yang dikehendaki dalam pengertiannya adalah keingi-nan untuk menaati kehendak Allah, tetapi hal it terus dihambat dan diha-langi oleh tabiat dosa yang masih ada. Keinginan daging yang masih ada bukan berarti bahwa orang percaya masih berada di bawah perbudakan dalam dosa.  Kalimat “sehingga kamu setiap kali tidak melakukan apa yang kamu kehendaki” terdapat juga dalam Roma 7:15. Hal ini bukan berarti bahwa dalam Roma 7, juga berbicara tentang pertentangan antara Roh dan daging dalam hidup orang percaya seperti dijelaskan dalam Galatia 5:16-18. Ridderbos menyatakan, “Ada perbedaan besar antara Roma 7:14 dan seterusnya dan Galatia 5:17: yang pertama dilukiskan berdasarkan situasi daging; yang kedua bertolak dari Roh Kudus.”[64] Dalam ayat 18, Paulus memberi suatu hipotesis. Jika hidup dipimpin oleh Roh, maka orang percaya tidak hidup di bawah hukum Taurat. Kehadiran hukum Taurat di sini adalah bahwa hukum Tauratlah yang telah membangkitkan segala kejahatan, keinginan-keinginan daging ditimbulkan olehnya.  Hal ini terjadi oleh dosa/maut yang telah memperalat hukum Taurat.

2.    Perjanjian Lama

a.   Hukum Taurat dalam Kelima Kitab Musa

Membicarakan seluruh kitab Musa (Kejadian-Ulangan) bukanlah maksud penulis dalam bagian ini. Hal itu tidak mungkin dapat dikupas secara tuntas dengan beberapa paragraf saja. Penulis terutama menying-gung tentang tujuan pemberian hukum Taurat yang diberikan Allah kepada bangsa Israel.

Manusia sebagai makhluk sosial senantiasa mengadakan hubungan dengan sesamanya. Salah satu jalinan hubungan tersebut dinyatakan dalam perjanjian. Perjanjian adalah hubungan di mana ikatan moral antara dua pihak yang terlibat dengan tujuan bersama atau tujuan sepihak yang disetujui bersama.  Perjanjian Sinai yang diceritakan dalam Kitab Keluaran tidaklah sama dengan perjanjian pada umumnya, misalnya perjanjian antara Yakub dan Laban (Kej. 31:45-48). Dalam perjanjian di Sinai kedua pihak tidak berada pada posisi yang sederajat. Perbedaannya adalah terletak pada posisi Tuhan Allah. Ia lebih tinggi dari pihak kedua yaitu Isreal. Ia yang memberi perintah dan Israel ditantang untuk selalu setia.  Hal itu nyata dari jawaban bangsa itu, “segala yang difirmankan Tuhan akan kami lakukan” (Kej. 19:8).

Istilah Taurat dalam Bahasa Ibrani adalah “tora” yang berasal dari kata “yāra” berarti “mengarahkan atau mengajarkan”, di mana pengajaran di sini terbatas pada lingkungan hukum: para ayah memberikan pengajaran (Ams. 1:8; 3:1), orang-orang bijak (Ams. 13:14), nabi-nabi (Yes. 1:10), tetapi yang terutama adalah oleh Tuhan dengan Musa sebagai perantara (II Taw. 33:8).[65] Istilah Taurat dapat menunjuk pada kitab pertama dalam Perjan-jian Lama (Pentateukh) juga pada “dasa titah” (sepuluh firman) ataupun pada seluruh peraturan, ketetapan, dan hukum dalam keseluruhan Kitab Taurat.[66] Menurut Barnabas Ludji, “Arti dan hakikat Taurat adalah kesela-matan, keadilan, kasih, dan kebenaran Allah yang berlaku dan dialami dalam kehidupan konkret umat sehari-hari.”[67]

Kisah pemberian hukum diceritakan dalam kitab Ulangan. Nama kitab ‘Ulangan’ diambil dari nama Latinnya: Deuteronomium yang berarti “hukum kedua”. Yang dimaksudkan adalah bukan hukum perdana tetapi yang meneguhkan hukum perdana.[68] Hukum perdana yang dimaksud adalah berkaitan dengan perjanjian Allah dengan Abraham (Kej. 15, 17) dan hukum  kedua menunjuk pada perjanjian dengan Musa di Sinai. Ten-tang hubungan kedua perjanjian ini VanGemeran menyatakan bahwa per-janjian dengan Abraham berisi dimensi-dimensi nasional dan kosmik di mana janji-janji-Nya bersangkut-paut dengan keturunan-keturunan Abra-ham. Allah berjanji bahwa Ia akan menjadi Allah mereka dan mereka men-jadi anak-anak-Nya. Kovenan Musa mengaplikasikan manfaat-manfaat dari kovenan Abraham kepada Israel yang akan diluaskan kepada semua bangsa.[69] Jadi, kovenan Musa dapat didefinisikan seperti dikatakan Van Gemeran:

Pemberian anugerah dan janji Tuhan yang berdaulat yang dengannya Tuhan menguduskan suatu umat bagi-Nya sendiri di bawah hukum Taurat-Nya. Kovenan ini mengukuhkan janji-janji penuh rahmat yang terdapat di dalam kovenan dengan Abraham dan menjadi hak-hak istime-wa yang terus berlangsung dalam lembaga-lembaga simbolis Kerajaan Allah di Israel (tabernakel/bait suci, persembahan korban, dan sistem keimaman suku Lewi). Inti dari kovenan dengan Musa adalah komitmen Allah kepada semua yang merespons-Nya dengan sepenuh hati (Ul. 4:29; 6:4-5; 10:12; 11:13; 13:3; 30:6).[70]

Taurat yang diberikan Allah kepada bangsa Israel mengandung dua ketegangan. Sebagai penyataan dari Allah Taurat itu baik dan kudus, namun diberikan kepada manusia yang tidak baik dan tidak kudus.[71]  Kovenan dengan Musa juga disebut dengan Kovenan Mosaik sebagai sumber tradisi profetis sehingga pangajaran janji, hukum, sanksi, pengha-kiman, janji-janji, dan eskatologi dilanjutkan oleh nabi-nabi pilihan Tuhan untuk diajarkan kepada bangsa Israel.[72]

Perjanjian Sinai ini dengan tokoh utamanya adalah Musa, sebagai perantara perjanjian itu. Otoritas ilahi menurut Kovenant Musa bagi bangsanya juga menjadi tema utama kitab ini.[73] Tentang peranan Musa dalam perjanjian ini, Richart L. Pratt menyatakan, “Otoritas Musa juga mencakup Taurat di mana ia menjadi mediator bagi bangsanya. Hukum Taurat berasal dari Allah dan hanya Musa yang diizinkan untuk memasuki hadirat-Nya yang kudus di Sinai untuk menerimanya.”[74]  Perjanjian dengan perantaraan Musa telah didahului oleh Perjanjian Abraham sehingga meni-mbulkan pertanyaan tentang fungsi perjanjian di Sinai.

Dyrnees menyatakan, “Hukum Taurat merupakan perjanjian dan kepentingannya tidak melebihi perjanjian. Maksudnya adalah hukum Taurat harus mengungkapkan sifat kehidupan dalam perjanjian.”[75]  Tujuan Allah bukan dengan Israel mematuhi hukum Taurat agar menjadi umat Allah tetapi justru karena mereka adalah umat Allah. Hubungan antara keduanya dan pemberian Taurat menyatakan bahwa hubungan tersebut merupakan penyataan anugerah Allah. Tanggapan yang diinginkan Allah dari prakarsa-prakarsa-Nya adalah ketaatan yang terus menerus.[76] Perjan-jian pertama telah diterima Abraham dengan iman (Kej. 15:6), dan Allah menuntut Abraham untuk terus taat (Kej. 17:1-2). Demikian pula hukum Taurat ditambahkan bukan untuk mengubah dasar iman menjadi dasar amal.  Bangsa Israel harus memelihara perjanjian itu dengan ketaatan yang terus menerus. Karena bukan oleh Taurat itu yang telah melepaskan bangsa Israel dari perbudakan di Mesir tetapi Tuhan Allah. Taurat hanya untuk menunjukkan kesetiaan Israel terhadap Allah.

Hukum-hukum yang diberikan Allah kepada Israel sebagai pedoman hidup umat Allah mencakup hukum-hukum moral, sipil, dan keagamaan.[77]  Keseluruhan hukum itu diringkaskan dalam Dasa Titah sebagai kebijakan dari etos yang membatasi tingkah laku sebagai keanggotaan umat Allah.[78]  Hukum-hukum tersebut sebagai pedoman hidup umat Allah, sebagai tanda kesetiaan mereka kepada Allah, dan sebagai ungkapan iman, telah tidak membuahkan hasil. Perintah itu telah menjadi kutuk bagi yang tidak melakukannya. Oleh Kristus yang telah menanggung kutuk bagi kita, dan telah melepaskan kita dari kutuk hukum Taurat itu (Gal. 3:10, 13). Bangsa Israel setelah masa-masa tersebut tidak semakin taat tetapi semakin menjauh dari Tuhan. Era ini berada dalam zaman antara Musa dan Samuel.  Israel sering memberontak kepada Tuhan bahkan merosot sampai titik yang sangat rendah. Setelah itu Tuhan membangkitkan nabi-nabi lainnya untuk menyerukan supaya tetap menjaga teokrasi, tetapi Israel mengadopsi praktek-praktek penyembahan bangsa kafir di sekitarnya.[79] Kenyataannya sekarang telah bertolak belakang dengan ikrar mereka dalam Keluaran 19:8.  Tepat apa yang dikatakan oleh Wright:

Hukum Taurat adalah pemberian anugerah Allah dan tuntutan perjanjian Allah. Melanggar atau mengabaikan hukum Taurat bukan hanya pelang-garan kriminal, perdata, peribadatan, dan bukan sekedar kurangnya keba-jikan. Hal itu adalah dosa. Allah berada di atas dan dibalik hukum Taurat, sehingga memelihara hukum Taurat bertujuan “mengenal Allah” dalam hubungan perjanjian yang pribadi. Dalam arti itu hukum Taurat adalah benar-benar “kehidupan”.[80]

b.   Hukum Taurat dalam Kitab Mazmur

Kitab Mazmur merupakan kumpulan nyanyian dan bangsa Israel yang telah dikumpulkan selama beberapa abad, dengan pengarangnya yang berbeda-beda dan jenisnya yang beraneka ragam. Di dalam Kitab Mazmur pun hukum Taurat Tuhan mendapat tempat. Mazmur-mazmur yang menguraikan hukum Taurat yaitu Mazmur 1, 19, dan 119. Dalam mazmur-mazmur ini pemazmur memuji Tuhan karena kesucian Taurat-Nya. Seperti fungsi Mazmur bagi bangsa Israel adalah untuk memuji Tuhan karena berbagai-bagai perbuatan Tuhan dan karya-karya Tuhan menak-jubkan. Demikian pula sekarang pemazmur memuji Tuhan oleh karena Taurat-Nya.

Dalam Mazmur 1, kehidupan yang seturut dengan perintah Tuhan, hidupnya digambarkan dengan pohon yang tumbuh dengan subur oleh bimbingan Tuhan kepada tujuan yang kekal. Mazmur ini menyatakan norma sebagai pedoman hidup bukan sumber hidup itu.[81] Orang yang hidup sesuai dengan hukum tersebut berbeda dengan orang yang tidak taat terhadapnya.  Ketidaktaatan terhadapnya adalah menuju kebinasaan.

Mazmur 19 berisikan tentang hukum Taurat yang menyenangkan pemazmur. Secara khusus ayat 8-11, pemazmur memuji Tuhan karena kesempurnaan Taurat-Nya. Ia melebihi semua keindahan duniawi bahkan dengan emas, yang menurut ukuran manusia adalah benda yang terindah, juga melebihi manisan yang ada. Tidak ada yang dapat disejajarkan dengannya. Allah telah menyatakan diri-Nya melalui ciptaan, dan seluruh ciptaan itu terus melukiskan kemuliaan Tuhan sepanjang masa. Kini melalui Taurat-Nya, Tuhan menyatakan diri. Intinya adalah bahwa sifat-sifat Tuhan dalam karunia-Nya melalui hukum Taurat-Nya itu terus dipuji-puji oleh pemazmur. Billy Kristanto menyatakan bahwa Mazmur 19 ini (1-7) berbicara tentang penyataan Allah yang terpancar dalam ciptaan (general revalation) dan penyataan diri Allah melalui firman-Nya (8-11), yaitu melalui Taurat-Nya (special revalation).[82] Lebih lanjut ia katakan bahwa pengenalan akan Allah tidak sempurna melalui wahyu umum. Melalui wahyu khusus, manusia  mengenal Allah secara komprehensif.[83]

Mazmur 119 adalah mazmur yang paling panjang, dengan tidak habis-habisnya memuji orang yang mengikuti jalan Tuhan. Di dalamnya kita menemukan perbandingan antara jalan orang benar (menurut Taurat Tuhan) dan jalan orang fasik. Mazmur ini mengungkapkan kepercayaan kepada sabda Allah yang diberikan kepada umat dalam berbagai keadaan.  Beberapa ayat yang dihunjuk oleh Barnabas Ludji dalam pasal ini berhu-bungan dengan makna Taurat yang disaksikan oleh pemazmur, “Ayat 15 dan 156, ia menyatakan bahwa ayat-ayat ini menegaskan bahwa hukum Taurat adalah keselamatan, sedangkan ayat 56 dan 159 menegaskan bahwa firman adalah kebenaran dan segala hukum adalah keadilan. Sementara ayat 165 menegaskan bahwa kesejahteraan ada pada orang yang mencintai Taurat.”[84]

Jadi, pada dasarnya hukum Taurat adalah hukum yang menye-nangkan, menyegarkan jiwa bagi orang-orang yang melakukannya, yang setia pada Tuhan, dan mengindahkan perintah-perintah-Nya. Hukum Taurat bukan sesuatu yang mencelakakan. Hukum Taurat adalah baik.

3.   Pemahaman yang Berbeda

Dua isu yang diangkat pada bagian ini dan berkaitan dengan pokok masalah yaitu Yudaisme, terutama pemahaman mereka terhadap hukum Taurat dan ajaran tentang dosa dan juga konsep antropologi Yunani sebagai budaya yang mendominasi dunia kekaisaran Romawi pada waktu itu. Pada bagian ini penulis memaparkan secara singkat pokok-pokok ajaran tersebut. Pokok ini penting sebab meletakkan sesuatu yang lain di sisi sesuatu yang menyerupai dengannya, akan semakin memperjelas posisi, ciri, dan bentuk masing-masing.

a.   Yudaisme

Kehidupan agama Yahudi pada abad pertama Masehi mengalami banyak perubahan oleh pengaruh peristiwa-peristiwa besar yang terjadi pada zaman itu. Yang terutama adalah karena pengauh Helenisme sehingga ada yang pro dan kontra, dan Yudaisme pun terbagi dalam dua golongan yaitu ke-Yahudi-an Romawi (ke-Yahudi-an perantauan) dan ke-Yahudi-an rabinis. Ke-Yahudi-an rabinis ini terdiri dari golongan Farisi, Eseni, Saduki, dan Zelot. Yang juga tidak kalah pentingnya pengaruh kehancuran Bait Allah pada tahun 70.[85]  Bait Allah adalah simbol ke-Yahudi-an yang sangat menonjol tetapi kehancurannya tidak meruntuhkan ke-Yahudi-an.  Dasar yang sangat penting adalah “hukum” yang mempunyai tempat yang sangat sentral dalam ke-Yahudi-an sepanjang sejarah.[86]

1)    Hukum Taurat

Di atas telah dibahas bahwa Allah memberikan hukum Taurat kepada bangsa Israel melalui perantaraan Musa (lih. hlm. 26-28) dan pemazmur telah menggambarkan kesenangan akan hukum Taurat tersebut (lih. hlm. 30-31). Pembahasan dalam bagian ini adalah interpretasi orang Yahudi pada abad kemudian setelah pemberian hukum itu. Cakupan masa-lah ini cukup luas, penulis memberikan informasi apa adanya.

Orang Yahudi sangat menjunjung hukum Taurat dengan tinggi, melalui hukum Taurat orang Yahudi merasa diri mempunyai kedudukan yang istimewa di hadapan Allah. Pemahaman ini berkembang dan sering menjadi sikap yang menyingkirkan orang lain sebab merasa diri sebagai yang paling superior. Akan tetapi oleh Taurat juga mereka tetap mempertahankan diri sebagai negara dan bangsa yang telah dipilih Tuhan sekalipun mereka berada di tengah-tengah bangsa kafir, yaitu takkala mereka sebagai tawanan di Babel.[87]  Sikap terhadap hukum Taurat yang demikian semakin menjadi-jadi setelah kembali dari penawanan. Lukas Djandra menyatakan, “Keadaan ini berkembang sampai suatu taraf bahwa memelihara Taurat adalah identik dengan agama Yahudi.”[88] Zaman kekuasaan kekaisaran Yunani memudarkan sikap ini, tetapi revolusi yang dipimpin oleh kaum Makabe kembali meningkatkan sikap demikian oleh propaganda orang-orang Farisi. Para Ahli Taurat dan orang-orang Farisi membagi Taurat menjadi 613 butir, 248 di antaranya adalah perintah yang harus ditaati dan sisanya (365 butir) berbentuk larangan. Lukas Djandra menyatakan, “Tauratisme mengharuskan mereka melaksanakan peraturan-peraturan tertulis secara harafiah dan sudah barang tentu menjadi suatu beban bagi mereka”.[89] Agaknya ini ada hubungannya dengan apa yang dikatakan Yesus, “Mereka mengikat beban-beban berat, lalu meletakkannya di atas bahu orang” (Mat. 23:4a).

Di antara orang-orang Yahudi terdapat golongan para nabi yang mengajar di sinagoge dan mempunyai pengetahuan yang sangat baik tentang Taurat.  Dalam sejarahnya para rabi telah meninggalkan tulisan-tulisan. Dua kitab agama Yahudi selain Perjanjian Lama yaitu Talmud dan Midrash. Talmud berisi interpretasi para rabi tehadap Taurat Musa, legenda bangsa Yahudi, tafsiran dan penyelidikan PL, berbagai bacaan pilihan tentang kitab agama dan bahan-bahan yang tidak terdapat dalam Alkitab. Isi kitab ini sangat kompleks dan luas, mencakup segala bidang kehidu-pan.[90] Lambat laun Talmud melampaui Taurat bahkan kadang-kadang lebih dihargai dari Taurat itu sendiri, dan secara tidak langsung Talmud telah menjadi kanon orang Yahudi.[91]

Midrash merupakan tafsiran PL orang Yahudi yang lebih menye-rupai kumpulan cerita perumpamaan yaitu kutipan literatur kuno, legenda, dongeng yang biasa dikutip oleh para rabi saat mengajar Taurat.[92]  Hal ini menunjukkan bahwa Taurat agama Yahudi telah mengalami perge-seran menjadi peraturan kosong, berat, dan menjadi penghalang tentang kebe-basan rohaniah manusia, namun di pihak lain etika dan moral bangsa Yahudi yang begitu luhur, di samping konsep menimbun jasa untuk melak-sanakan Taurat secara mekanis, telah menjadi daya tarik bagi bangsa-bangsa lain yang mencari kebenaran sebab keluhuran moral Yahudi lebih tinggi dibanding bangsa-bangsa disekitarnya.[93] Jadi, hukum Taurat yang diinterpretasikan oleh orang Yahudi menunjukkan bahwa hukum Taurat telah melekat dalam batin mereka. Inilah yang terutama, sekalipun interpretasi itu tidak menjadi ukuran bahwa ia benar, malah telah menjadi semacam kewajiban agama yang “memaksa.”

2)    Dosa

Pemahaman orang Yahudi tentang dosa sangat erat kaitannya dengan hukum Taurat. Ajaran dosa dalam Talmud berbunyi demikian, “Sejak manusia berada dalam kandungan, dosa telah bertunas di dalam hatinya, kemudian bertambah kuat seiring pertumbuhannya.”[94] Talmud mengajarkan bahwa “di dalam diri manusia, sifat itu tidak akan menjadi lebih buruk” jika manusia taat pada Taurat. Jadi, Taurat adalah obatnya.[95] Dalam sejumlah kitab Apokaliptik, dosa tidak saja disebabkan oleh penga-ruh kuasa-kuasa jahat dari jagat raya, tetapi merupakan pilihan manusia untuk berbuat baik, dan ini adalah masalah etis bagi manusia yang diperha-dapkan pada pilihan antara yang baik dan yang jahat. Kejahatan yang dilakukan oleh setiap orang adalah berdasarkan pada “kecenderungan yang jahat” sebagai sifat dasar manusia itu sendiri dan setiap orang bertanggung jawab terhadap dosanya sebab masing-masing menjadi Adam bagi dirinya sendiri sekalipun dosa pertama dilakukan oleh Adam.[96]

Penulis IV Ezra mengatakan bahwa di dalam diri manusia terjadi pertarungan antara dua kekuatan yang mana satu sama lain bertolak bela-kang, dan manusia menentukan pilihannya untuk taat terhadap siapa, sebab Musa telah berkata, “Pilihlah bagi dirimu sendiri kehidupan, supaya engkau hidup!” Nats yang dikutip penulis IV Ezra ini merujuk pada Ulangan 30:19 di mana Allah bersabda, “Kepadamu kuperhadapkan kehi-dupan dan kematian, berkat dan kutuk. Pilihlan kehidupan supaya engkau hidup, baik engkau maupun keturunanmu.”[97]

Pemahaman demikian memunculkan “teori yetser”. “Teori ini menya-takan bahwa  dalam diri setiap orang ada suatu yetser atau ‘kecenderungan’ atau ‘watak’ jahat yang bertolakkan dan ada dalam ketegangan dengan yetser baik; keduanya ditanamkan dalam hati manusia pada saat ia dilahirkan atau pada saat pembuahan dalam rahim oleh Allah sebagai suatu kelemahan yang membatasi manusia (bnd. Kej. 8:21), tetapi untuk ini manusia tetap memikul tanggung jawab (bnd. Kej. 6:5).”[98]  Dalam IV Ezra “Kecenderungan yang jahat” itu digambarkan sebagai suatu “akar kejaha-tan” di dalam diri Adam yang ke luar dari “hati yang jahat” yang menjauh-kan dari Allah, inilah yang mendorong manusia untuk berbuat jahat.  Seka-lipun demikian manusia harus tetap bertanggung jawab atas dosa, hukum Taurat menawarkan jalan keselamatan bagi manusia itu.[99] Ajaran ini juga ditemukan dalam Talmud seperti yang telah dikutip di atas bahwa sejak manusia berada dalam kandungan, dosa telah bertunas di dalam hatinya.

Doktrin Yahudi, keberdosaan manusia bersifat universal.  Konsep-nya adalah bahwa setiap manusia memiliki kecengerungan (yetser) untuk berbuat baik dan jahat. “Karena setiap orang memiliki yetser untuk berbuat baik dan juga pertolongan Taurat, maka mereka memiliki panggilan moral untuk menggatasi yetser untuk berbuat jahat.”[100] Dalam komunitas Qumran[101] konsep ini muncul dalam konsep dua roh yaitu roh terang dan roh kegelapan, keduanya juga ditempatkan Allah dalam diri manusia sama seperti kecenderungan yang baik dan yang jahat.[102] Menurut Russel dua roh ini kadang-kadang sepadan dengan “kecenderungan yang jahat” dan “kecenderungan yang baik.” Konsep kedua roh ini juga mengharuskan manusia untuk memilih.[103] Yetser hara adalah dasar penjelasan dalam penafsiran Yahudi atas kejatuhan dan hukum Taurat sarana penyembuh.[104]

Jadi, pemahaman Yudaisme terutama tentang hukum Taurat dan dosa meperlihatkan bahwa manusia harus bergantung pada hukum Taurat sebagai pemberian Allah untuk mendapatlan belas kasihan dan pertolongan ilahi untuk terlepas dari “si jahat” (kecenderungan yang jahat).  Apa yang dikatakan Ridderbos sangat memperjelas hal ini:

Semua ini tidak mengubah fakta bahwa Yudaisme tidak mengenal jalan keselamatan selain oleh Taurat, dan bahwa bagi Yudaisme, belas kasihan dan kasih Allah yang mengampuni terletak pada fakta bahwa hal ini akan memampukan orang berdosa untuk sekali lagi membangun masa depan kekal di atas dasar Taurat.  Konsep bahwa kita harus meninggalkan Taurat sebagai sumber kekuatan moral dan kebenaran dihadapan Allah, berten-tangan dengan doktrin objek Taurat Yahudi dan kaitan batin antara Taurat dan dosa. Di sini terletak keistimewaan atas bangsa-bangsa lain: dalam Taurat mereka memiliki sarana untuk beroleh hidup. … Taurat dianggap sanggup memberikan hidup kepada manusia dan melakukan Taurat dapat mengurangi dosa.[105]

Pamahaman Yudaisme akan pertolongan hukum Taurat untuk melawan dosa adalah bukti kesadaran yang mendalam dari manusia sebagai makhluk yang sangat berdosa dihadapan Allah.

b.   Antropologi Yunani

Budaya Yunani melebar di seluruh dunia pada masa penaklukkan yang dipimpin oleh Aleksander Agung.  Zaman ini dianggap sebagai zaman baru yaitu zaman Helenis, atau disebut juga Helenisme.  Palestina berada di bawah jajahan kekaisaran Romawi dan budaya Helenis sebagai budaya internasional[106] (lih. hlm. 6-7). Pemahaman antropologi Yunani diajarkan terutama oleh para filsuf dan lebih terang di dalam pemikiran Plato dan Arisroteles. Plato mengembangkan dualisme di mana ia membedakan dunia materi yang terus-menerus berubah menjadi (becoming) dan dunia yang tidak berubah (transenden) atau keberadaan (being).[107] Pemikiran demikian juga diterapkan ketika Plato memikirkan tentang menusia.  Manusia dalam pandangan Plato adalah suatu dualisme antara pikiran dan tubuh.  Pikiran dan jiwa adalah lebih penting daripada tubuh.  Tubuh ada hanya sebagai kendaraan untuk melayani jiwa.  Jiwa adalah kekal dan kematian adalah jalan bagi jiwa untuk telepas dari tubuh yang bersatu ketika seseorang dilahirkan sebab jiwa lebih baik tanpa tubuh, tidak diciptakan, kekal, dan adalah zat ilahi.[108]

Filsuf berikut setelah Plato adalah Aristoteles. Aristoteles menjelas-kan manusia seperti segala benda lainnya, suatu campuran antara bentuk dan materi dengan rasio sebagai bagian yang tertinggi dan terbaik dari manusia. Melalui rasio, manusia dapat bersatu dengan yang ilahi.[109]  Aristoteles tidak setuju dengan Plato (gurunya sendiri)  tentang imortalitas jiwa. Ia berpendapat bahwa jiwa tidak mungkin bertahan hidup tanpa tubuh.[110] Tentang nous, dalam bukunya De Anima, ia berkata, “Nous nampaknya adalah suatu manifestasi dari jiwa yang berbeda secara mendasar, merupakan satu-satunya yang mampu terpisah, seperti yang kekal dari yang tidak dapat binasa.”[111]  Bagi Plato nous adalah bagian dari diri manusia yang abadi dan berasal dari “sorga”. Ia adalah kondisi yang penuh kenikmatan. Nous akan kembali ke surga jika selama hidup ia berbuat baik dan terpuji, jika tidak, ia akan kembali ke dalam tubuh manu-sia atau hewan sebab ia bersifat abadi.[112]

Kedua filsuf ini mempunyai konsep yang sama tentang rasio manu-sia sebagai bagian yang otonom dan mandiri. Menurut mereka, kata Mackenzie, rasio manusia dapat mencapai realitas yang ilahi dan yang lebih penting adalah bagi mereka natur manusia dalam kehendaknya sama sekali tidak jahat atau rusak oleh dosa. Manusia melakukan kesalahan bukan karena dosa melainkan disebabkan oleh ketidaktahuan manusia itu sendiri.[113]

Jadi, dapat disimpulkan bahwa pemahaman Yunani tentang manu-sia adalah bersifat dualisme. Manusia terbagi dalam dua bagian, materi dan non-materi. Menghargai yang satu (nous atau jiwa), tetapi mengabaikan yang lain (tubuh yang bersifat materi). Kefanaan tubuh mengindikasikan bahwa ia tidak mempunyai tempat dalam kebangkitan.


[1] Ada  legenda yang mengatakan bahwa Roma didirikan oleh Aeneas, pejuang dari Troya, setelah Troya jatuh pada tahun 753 sM. Legenda lain mengatakan, kota Roma didirikan oleh dua orang keturunannya, Romulus dan Remus, pada tahun 753 sM, J. I. Packer dkk, Dunia Perjanjian Baru, (Surabaya: Yakin-Malang: Gandum Mas, 2004), hlm. 68. Tetapi tradisi lebih menerima kemungkinan kedua E. A. Judge, ‘Roma’ dalam Enslikopedi Alkitab Masa Kini, jilid II M-Z, oleh J. D. Douglas dkk, peny., (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bisa Kasih, 2005), hlm. 321

[2] Ibid.

[3] John Staumbaugh dan David Balch, Dunia Sosial Kekristenan Mula-mula, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), hlm. 197

[4] Charles Ludwig, Kota-kota pada Zaman Perjanjian Baru, (Bandung: Kalam Hidup, 1999), hlm. 16

[5] Ibid., hlm. 21-28

[6] Ben Witherington III, Paul’s Letter to the Romans: A Social Rehtorical Commentary, (Grand Rapids: Eerdmans Publidhing Company, 2004), p. 12

[7] Ola Tulluan, Introduksi Perjanjian Baru (IPB), (Jawa Timur: Yayasan Persekutuan Pekabaran Injil Indonesia [YPPII], 1999, ed. rev.), hlm. 122

[8] Ludwig, Kota-kota dalam PB, hlm. 21

[9] Ibid., hlm. 55

[10] Dietrich Kuhl, Sejarah Gereja Jilid I: Gereja Mula-mula di dalam Lingkungan Kebudayaan Yunani-Romawi (30-500), (Jawa Timur: Yayasan Persekutuan Pekabaran Injil Indonesia [YPPII], 1998), hlm. 30

[11] Packer, Dunia Perjanjian Baru, hlm. 64-65

                [12] Dave Hagelberg, Tafsiran Roma dari Bahasa Yunani, (Bandung: Kalam Hidup, 2004), hlm. 4

[13] Kuhl, Sejarah Gereja, jld. 1, hlm. 86

[14] Jakob van Bruggen, Siapa  yang Membuat Alkitab? Penyelesaian dan Kewibawaan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, (Surabaya: Momentum 2002), hlm. 49

[15] van Bruggen, Siapa yang Membuat Alkitab, hlm. 50

[16] Pengelompokkan daftar Perjanjian Baru yang dimaksud adalah Homolougomena (kelompok tulisan tulisan yang diakui sebagai kanonik dan tidak ada masalah mengenai penulisnya), Antilegomena (kelompok tulisan-rulisan yang dipermasalahkan mengenai siapa penulisnya), dan Notha (kelompok tulisan-tulisan yang berumur cukup tua, tersebar luas, dan dibaca oleh jemaat tetapi tidak diakui sebagai Kitab Suci).

[17] Dikutip oleh Jakob van Bruggen, hlm. 168-173

[18] Donald Guthrie menerima kesimpulan ini, New Testament Introduction, (Leices-ter, U.K.: IVP, 1990). Untuk diskusi tentang komposisi jemaat Roma, lht. p.  204-206

[19] Hagelberg, Tafsiran Roma, hlm. 5

[20] Staumbaugh, Dunia Sosial Kekristenan, hlm. 200

[21] Th. van den End, Tafsiran Alkitab: Kitab Roma, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), hlm. 784

[22] Keberadaan Petrus di Roma diduga pada akhir abad pertama M, berdasarkan surat Clemens dari Roma kepada Ignatius dan bukti-bukti arkeologi di bawah Basilika St. Petrus di Vatican, Staumbaugh, hlm. 200

[23] Merril C. Tenney, Survei Perjanjian Baru, (Malang: Gandum Mas, 2006), hlm. 498-499

[24] Willi Marxsen, Pengantar Perjanjian Baru: Pendekatan Kritis Terhadap Masalah-masalahnya, (Jakarta: BPK Gunung Mulia 2008), hlm. 114

[25] John Drane, Memahami Perjanjian Baru: Pengantar Hostoris-Teologis, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), hlm. 328

[26] Dikutip oleh F.F. Bruce, Dokumen-dokumen Perjanjian Baru, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), hlm. 118

[27] Groenen, Pengantar PB, hlm. 218

[28] Staumbaugh, Dunia Sosial Kekristenan, hlm. 199

[29] Groenen, hlm. 218

[30] Jakob van Bruggen, Paul Pioner for Israel’s Messiah, (Phillipsburg: P&R Publishing House, 2005), p. 114

[31] Ibid., p. 114

[32] Robert E. van Voorst, Jesus Outside the New Testament: An Introductioan to the Ancient Evidence, (Grand Rapids/Cambidge: William B. Eerdmans Pub Com., 2000), p. 33

[33] van Voorst, Jesus Outside, ibid., pp. 33-34

[34] K. Weiss, “Χρηστος” dalam Theological Dictionary of the New Testament, vol. IX, diedit oleh G. Kittel & G. Friedrinch, (Grand Rapids, Michigan: Milliam B. Eerdmans Publishing Company, 1974), pp. 484-485

[35] van Voorst, Jesus Outside the New, p. 35.  Juga beberapa tokoh-tokoh geraja mula-mula menyebutkan Chrestus kepada orang Kristen, seperti Justinus Martir (1 Apology4.1), Tertulianus, 197 (1 Apology 3.5), dan Laktantius, 309 (Devine Institutes 4.7.5), lht. Robert Voorst, Ibid., p. 36, lihat juga K. Weiss, TDNT, vol IX, pp. 485-486

[36] Drane, Memahami PB, hlm. 346-347

[37] Tom Jacobs, Paulus: Hidup, Karya, dan Teologinya, (Yogyakarta: Kanisius-Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), hlm 99

[38] Joseph P. Free, Arkeologis dan Sejarah Alkitab, direvisi dan diperluas oleh Howard F. Vos, (Malang: Gandum Mas, 1997), hlm. 426

[39] Wahono, Di Sini Kutemukan, hlm. 426

[40] Guthrie, New Testament Introduction, hlm. 407-408, tahun yang diberikan oleh Donald Guthrie adalah 57-59

[41] Duyverman, Pembimbing, hlm. 95

[42] Tenney, Survei  PB, hlm. 376

[43] Dikutip oleh Marxsen, Pengantar, hlm. 107

[44] van den End, Surat Roma, hlm. 55

[45] Groenen, Pengantar PB, hlm. 220

[46] Guthrie, New Testament Introduction, p. 411-412. Untuk ragam penjelasan motif penulisan Surat Roma, lht. hlm. 408-412

[47] Jacobs, Paulus, hlm. 194

[48] Bruggen, Paul, hlm. 111-112

[49] Marxsen, Penganta PB, hlm. 111-112

[50] Ibid., hlm. 113

[51] Ibid., hlm. 119

[52] Ada perbedaan antara pembaginan pasal 7 ini dengan skripsi saya. Eksegesis dalam skripsi ini dimulai dari Roma 7:14-26, tidak dimulai dari ayat 13. Keputusan ini saya ambil dengan pertimbangan peralihan tata bahasa yaitu past tense berakhiri pada 13 yang dimulai pada ayat 7 ke present tense (14-26).

[53] Douglas J. Moo, The Epistle of the Romans (NICNT), edited by Gordon D. Fee, (Grand Rapinds: Eerdmans, 1996), p. 33-35 (Terjemahan Penulis)

[54] Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 2: Misi Kristus, Roh Kudus, Kehidupan Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), hlm. 300

[55] J. Knox Chamblin, Paulus dan Diri: Ajaran Rasuli bagi Keutuhan Pribadi, (Surabaya: Momentum, 2007), hlm. 140

[56] van den End, Surat Roma, hlm. 343

[57] Moo, Romans, p. 418

[58] Glenn W. Baker, The New Testament Speaks, (New York: Harper & Row Publishers, 1969), p. 196

[59] Thomas R. Schreiner, Romans (BECNT), Grand Rapids: Bacer Academic,1998), p. 385

[60] Jacobs, Paulus, hlm. 232

[61] Herman Ridderbos, Paulus: Pemikiran Utama Teologinya, (Surabaya: Momentum, 2008), hlm. 225

[62]  J. J. W. Gunning, Tafsirab Alkitab: Kitab Galatia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), hlm. 111

[63] Gordon D. Fee, Paulus, Roh Kudus, dan Umat Allah, (Malang: Gandum Mas, 2004), hlm. 184

[64] Ridderbos, Paulus, hlm. 283

[65] William Dyrnees, Tema-tema dalam Teologi Perjanjian Lama, (Malang: Gandum Mas, t. th.), hlm. 109

[66] Indriani Bone, Paul Hidayat, dan Anwar Tjen (ed.), Berteologi dalam Anugerah, (Cipanas: STT Cipanas, 1997), hlm. 50-51

[67] Barnabas Ludji, ibid., hlm. 61

[68] Christopher Wright, Hidup sebagai Umat Allah: Etika Perjanjian Lama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), hlm. 155

[69] Willem A. VanGemeran, Penginterpretasian Kitab Para Nabi, (Surabaya: Momentum, 2007), hlm. 81

[70] Ibid., hlm. 252

[71] Ibid.

[72] Ibid., hlm. 18-22

[73] Richard L. Pratt, Ia Berikan Kita Kisahnya: Panduan bagi Siswa Alkitab untuk Menafsirkan Narasi Perjanjian Lama, (Surabaya: Momentum, 2005), hlm. 317

[74] Ibid., hlm. 318

[75] Dyrnees, Tema-tema, hlm. 119

[76] Ibid., hlm. 110

[77] David L. Baker, Mari Mengenal Perjanjian Lama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), hlm. 35

[78] Wright, Hidup sebagai Umat Allah, hlm. 152-153

[79] VanGemeran, Penginterpretasian, hlm. 23-28

[80] Wright, Hidup sebagai Umat Allah, hlm. 163

[81] J. Verkuyl, Etika Kristen bagian Umum, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), hlm. 115

[82] Billy Kristanto, Ajarlah Kami Bergumul: Refleksi atas Kitab Mazmur, (Surabaya: Momentum, 2008), hlm. 60 dst.

[83] Ibid., hlm. 64

[84] Ludji, Arti Taurat, hlm. 56

[85] Wahono, Di Sini Kutemukan, hlm. 314-315

[86] Ibid., hlm. 324-325

[87] Lukas Tjandra, Latar Belakang Perjanjian Baru, jld. II (Agama), (Malang: Literatur SAAT, 2008), hlm. 58

[88] Ibid.

[89] Ibid.  Dalam jilid II, Lukas Djandra memuat peraturan agama Yahudi di bagian apindeks yaitu hal-hal yang harus dilakukan atau dilarang (356 butir), hlm. 186-226

[90] Djandra, Latar Belakang PB III, hlm. 90

[91] Ibid., hlm. 93

[92] Tjandra, Latar Belakang PB III, hlm. 108

[93] Tjandra, Latar Belakang PB II, hlm. 59

[94] Diterjemahkan oleh Lukas Djandra, Latar Belakang PB III, hlm. 99

[95] Djandra, Latar Belakang PB III, hlm. 100-101

[96] R. S. Russell, Penyingkapan Ilahi, Pengantar ke dalam Apokaliptik Yahudi, (Jakarta BPK Gunung Mulia, 2007), hlm. 146-147

[97] Ibid., hlm. 147

[98] Russell, Penyingkapan Ilahi, ibid., hlm. 148

[99] Ibid., hlm. 148-149

[100] Ridderbos, Paulus, hlm. 131

[101] Komunitas Qumran merupakan kelompok yang mengasingkan diri dari dunia dengan cara hidup berekstase, menolak untuk menganut budaya Helenisme yang sangat mempengaruhi orang Yahudi pada waktu itu. Mereka merasa diri sebagai sisa Israel yang benar dan sangar mengharapkan kedatangan Mesias.   Pada tahun 1947 ditemukan gulu-ngan-gulungan kitab yang memuat seluruh PB dan sebagian besar PL. Penemuan gulu-ngan-gulungan di Qumran ini memberikan kontribusi bagi pemahaman teologi Kristen terutama latar belakang PB. Informasi dan sejarah penemuan ini dapat diperoleh dalam tulisan Richard W. Haskin, “Sumbangan Naskah Qumran bagi Pendidikan Teologi di Indonesia” dalam Pergulatan dan Kontekstualisasi Pemikiran Protestan di Indonesia, oleh Pramudianto dan Martin L. Sinaga (peny.), (Jakarta: UPI STT Jakarta, 1999), hlm. 117-189; Djandra, Latar Belakang  PB III, hlm. 114-135

[102] Ridderbos, hlm. 131

[103] Russel, hlm. 149-150

[104] Linwood Urban, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), hlm. 170-171

[105] Ridderbos, Paulus, hlm. 132

[106] Jagersma, Dari Aleksander Agung sampai Bar Kokhba (Sejarah israel dari ± 330 SM-335 M), (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), hlm. 13-20

[107] Charles S. Mackenzie, “Humanisme Yunani Klasik” dalam  Membangun Wawasan Dunia Kristen. Volume 1: Allah, Manusia, dan Pengetahuan (W. A. Hoffecker, ed.). (Surabaya: Momentum, 2006), hlm. 39-40

[108] Anthony A. Hoekema, Alkitab dan Akhir Zaman (The Bible and the Future), (Surabaya: Momentum, 2004), hlm. 120

[109] Mackenzie, “Humanisme Yunani Klasik”, ibid., hlm. 44

[110] Ibid.

[111] Dikutip oleh  Mackenzie, ibid.

[112] Hoekema, hlm. 116

[113] Mackenzie, hlm. 45-46

Tinggalkan komentar